
Melanoma, kanker yang menyerang kulit terus menggerogotinya. Saat itu, Snetsinger mengatakan bahwa ia hanya memiliki sisa waktu kurang dari setahun masa hidupnya. Untuk mengisi "sisa hidupnya" itu, Snetsinger kemudian memutuskan untuk berpetualang berkeliling dunia menekuni hobinya mengamati burung. Alaska dipilihnya sebagai destinasi pertama untuk mengamati burung di sana. Apa yang telah divonis dokter ternyata keliru. Umurnya tak sebatas satu tahun seperti yang telah diperkirakan sebelumnya. Dengan penuh semangat, Snetsinger berkelana hingga 18 tahun untuk mengamati burung-burung penuh warna yang telah memperindah dunia. Dalam petualangannya, ia pernah diserang malaria di Zambia, hampir mati di Zaire, hingga diculik dan diperkosa di pinggiran Port Moresby, Papua Nugini. Namun, itu semua tak menghentikan antusiasmenya terhadap pengamatan burung. Snetsinger memang hobi melakukan perjalanan di daerah-daerah yang tak umum dijelajahi kebanyakan orang. Sejumlah tempat termasuk daerah konflik atau daerah dengan kondisi lingkungan buruk pernah ditelusurinya.
Sebagai ornotolog amatir, ia mulai rutin mencatat burung yang ditemuinya setiap hari, terutama burung dari subspesies langka. Semangat dan antusiasme Snetsinger terhenti justru bukan karena kanker kulit yang menyerangnya. Mobil van yang ditumpanginya saat mengamati burung terbalik pada tahun 1999 di Madagaskar. Ia dilaporkan tewas di tempat kejadian. Burung terakhir yang sempat ia catat adalah red-shouldered vanga (Calicalicus rufocarpalis), burung pekicau kecil yang keberadaannya kini cukup rentan di alam. Burung ini termasuk dalam ordo Passeriformes, burung pekicau favorit Snetsinger, juga tergolong spesies burung langka dan baru ditemukan tahun 1997. Pada tahun 2003, Asosiasi Pengamat Burung Amerika (American Birding Association/ABA) menerbitkan buku "Birding on Borrowed Time" karya Phoebe Snetsinger. ABA sangat menghargai perjuangan Snetsinger tak hanya sebagai petualang naratif tapi juga pencatat dokumen perjalanan manusia. Tak salah jika Google mendedikasikan hari ini untuk Phoebe Snetsinger. Karena perjuangan, antusiasme, dan dedikasi semasa hidup jauh lebih berharga dibandingkan hanya duduk manis menunggu kematian.

Inspired to begin birding after seeing a Blackburnian warbler in 1965, Phoebe did not follow the hobby ardently until a doctor diagnosed her with terminal melanoma in 1981. Instead of convalescence at home, she took a trip to Alaska to watch birds, and returned home to find the cancer in remission. From then on, she would travel to often remote areas, sometimes under dangerous environmental and political conditions, in order to add to her growing life list. As an amateur ornithologist, she took copious field notes, especially regarding distinctive subspecies, many of which have since been reclassified as full species. - フィービ スネツィンジャー - 포브 스네친거 - Φοίβη Snetsinger
While on a birding trip in Madagascar in 1999, the van she was riding in overturned, killing her instantly. Her final life bird, after almost two decades as a "terminal cancer patient," was the red-shouldered vanga, a species which had been described as new to science only two years before in 1997. Snetsinger's memoir, titled Birding on Borrowed Time, was published posthumously in 2003 by the American Birding Association (ABA). The ABA describes this work as "More than merely a travel narrative, the book is also a profoundly moving human document, as it details how Phoebe Snetsinger's obsession with birds became a way of coping with terminal illness." Three of Snetsinger's four children are bird researchers in the United States. Thomas J. Snetsinger, her son, specializes in threatened endemic birds of Hawaii. - フィービ スネツィンジャー - 포브 스네친거 - Φοίβη Snetsinger