Bhumibol Adulyadej - Raja Rama IX Thailand

Biografi Biography Biografia Bhumibol Adulyadej - Raja Rama IX ThailandPaduka Yang Mulia Raja Bhumibol Adulyadej (aksara Thai: ภูมิพลอดุลยเดช; IPA: pʰu:mipʰon adunjadeːt; Tentang suara ini dengarkan (bantuan·info)) (lahir di Cambridge, Massachusetts, Amerika Serikat, 5 Desember 1927 – meninggal di Bangkok, 13 Oktober 2016 pada umur 88 tahun) atau dikenal sebagai Raja Rama IX adalah Raja Thailand sejak 9 Juni 1946. Naik takhta sejak usia 19 tahun, ia menggantikan kakaknya, Raja Rama VIII (Ananda Mahidol). Ia merupakan anggota Dinasti Chakri yang bersekolah di Sekolah Mater Dei (Bangkok). Putra Pangeran Mahidol Adulyadej ini melanjutkan sekolah dasarnya ke Lausanne ketika sebagian keluarganya pindah ke Swiss. Ia menjadi sangat terkenal di dunia berkaitan jabatannya sebagai Kepala Negara.

Ia menghabiskan pendidikan SLTA di Lausanne dan mendapat nilai tinggi pada Sastra Perancis, Latin, dan Yunani. Ia kemudian belajar Ilmu Pengetahuan di Universitas Lausanne ketika kakaknya (Ananda Mahidol) menjadi raja tahun 1935. Tetapi, kematian misterius kakaknya di bulan Juni 1946 menjadikannya raja pada 9 Juni 1946. Saat itu, ia tidak langsung naik takhta karena diminta menyelesaikan studinya di Swiss. Ia diminta belajar hukum dan ilmu politik yang berguna sebagai raja. Saat akhir studi, ia sering melihat pabrik otomotif di Perancis dan bertemu dengan sepupu jauhnya (Mom Rajawongse Sirikit Kitiyakara) yang juga seorang putri Duta Besar Thailand di Paris.

Cinta pun bersemi. Sirikit diminta meneruskan sekolah di Lausanne. Pada Juli 1949, keduanya bertunangan dan menikah pada Mei 1950. Pernikahan keduanya membuahkan empat anak, yaitu seorang putra dan tiga putri. Putra-putri raja terlibat penuh dalam proyek-proyek raja. Bhumibol memerintah dengan seorang wakil raja hingga tahun 1950 dan naik takhta sebagai Raja Rama IX. Kepemimpinannya mendapat tempat di hati rakyat karena sentuhan-sentuhan pribadinya. Penggemar musik jazz dan lagu kontemporer, ia memperoleh anggota kehormatan dari Institut Musik dan Seni Wina (Austria). Ia selalu memberi waktu untuk menyerahkan diploma pada setiap lulusan universitas negeri di Thailand. Tugasnya itu kemudian diambil alih oleh putra-putri raja.

Raja yang gemar fotografi dan mengarang atau menerjemahkan ini dikenal seorang atlet berlayar dan memperoleh medali emas dalam Asian Games (SEA GAMES) pada tahun 1967 di Manila (Filipina). Ia juga selalu kontak dengan atlet-atlet negaranya yang meraih medali emas. Pada awal Juni 2006, raja merayakan peringatan ke-60 tahun kenaikan takhta. Para raja atau keluarga kerajaan dari 25 negara menghadiri acara peringatan tersebut. Ketika berolahraga jalan kaki di sekitar istana pada 24 Juni 2006, raja terjatuh. Akibatnya terjadi keretakan di tulang iga, memar-memar pada punggung dan pundak. Kejadian ini turut menurunkan kesehatan raja yang juga telah menderita sumsum tulang belakang pada 1995. Kondisi itu didiagnosis sebagai penyakit tulang belakang yang terjepit pada 2003 dan raja telah mendapatkan terapi fisik penyembuhan sejak tahun 2005. Pada 20 Juni 2006, Raja masuk Rumah Sakit Siraraj di Bangkok untuk menjalani operasi tulang belakang dan ia datang bersama permaisuri Ratu Sirikit, empat anaknya, dan para cucu.


Bhumibol Adulyadej (Thai: ภูมิพลอดุลยเดช; rtgs: Phumiphon Adunyadet; pronounced [pʰuː.mí.pʰon ʔa.dun.ja.dèːt] ( listen); see full title below; 5 December 1927 – 13 October 2016), known as King Bhumibol the Great, was the ninth monarch of Thailand from the Chakri Dynasty as Rama IX. Having reigned since 9 June 1946, he was, at the time of his death, the world's longest-serving head of state[5] and the longest-reigning monarch in Thai history, serving for 70 years, 127 days. During his reign, he was served by a total of 30 prime ministers beginning with Pridi Banomyong and ending with Prayut Chan-o-cha. In 1957, a military coup overthrew the unpopular government of Field Marshal Plaek Phibunsongkhram with allegations of lèse-majesté,:136–137 which is an offense against the dignity of the monarch, punishable under Thai law.[10] This began a new and long-lasting relationship between the monarch and military in governmental matters. Although Bhumibol did invite public criticism in a 2005 speech,[12] the lèse majesté laws have not been revoked by the Thai parliament.

Forbes estimated Bhumibol's fortune—including property and investments managed by the Crown Property Bureau (CPB), a unique body that is neither private nor government-owned—to be US$30 billion in 2010, and he was the head of the magazine's list of the "world's richest royals" from 2008 to 2013. In May 2014, Bhumibol's wealth was once again listed as US$30 billion. Officially the assets managed by the CPB are owned by the crown as an institution, not Bhumibol Adulyadej as an individual. After 2006, Bhumibol suffered declining health and spent extended periods at Siriraj Hospital. Bhumibol was generally highly revered by the people in Thailand—many even saw him as close to divine. His heir Vajiralongkorn does not share the popularity of his father, leading to concerns that the Thai monarchy will lose prestige and influence after Bhumibol's death.