
Sadat dilahirkan di Mit Abu Al-Kum, Al-Minufiyah, Mesir, dalam sebuah keluarga Mesir-sudan yang miskin, dengan 12 saudara laki-laki dan perempuan. Ayahnya adalah seorang Mesir, sementara ibunya orang Sudan. Ia lulus dari Akademi Militer Kerajaan di Kairo pada 1938 dan ditempatkan di Korps Isyarat. Ia bergabung dengan Gerakan Perwira Bebas, yang bertekad untuk membebaskan Mesir dari kekuasaan Britania Raya. Pada Perang Dunia II ia dipenjarakan oleh Britania atas usaha-usahanya untuk mendapatkan bantuan dari Kekuatan Poros dalam mengusir pasukan-pasukan pendudukan Britania. Ia ikut serta dalam kudeta 1952 yang menggulingkan Raja Farouk II. Ketika revolusi meletus, ia diperintahkan mengambil alih jaringan radio dan mengumumkan pecahnya revolusi kepada rakyat Mesir.
Pada 1964, setelah memegang berbagai jabatan dalam pemerintahan Mesir, ia dipilih oleh Presiden Gamal Abdel Nasser untuk menjabat sebagai Wakil Presiden. Ia menduduki jabatan itu hingga 1966, dan sekali lagi dari 1969 hingga 1970. Setelah Nasser meninggal, Anwar Sadat dilantik menjadi Presiden. Pada 6 Oktober 1981, Presiden Anwar Sadat tewas ditembak dalam sebuah parade militer oleh anggota tentara anggota Jihad Islam. Ini merupakan organisasi muslim Mesir berhaluan keras yang menentang perjanjian damai Mesir dengan Israel. Tindakan represif anggota Jihad Islam terlihat dalam peristiwa September. Anwar Sadat kemudian digantikan oleh Wakil Presiden Hosni Mubarak.
In his eleven years as president, he changed Egypt's trajectory, departing from many of the political and economic tenets of Nasserism, re-instituting a multi-party system, and launching the Infitah economic policy. As President, he led Egypt in the Yom Kippur War of 1973 to regain Egypt's Sinai Peninsula, which Israel had occupied since the Six-Day War of 1967, making him a hero in Egypt and, for a time, the wider Arab World. Afterwards, he engaged in negotiations with Israel, culminating in the Egypt–Israel Peace Treaty; this won him and Israeli Prime Minister Menachem Begin the Nobel Peace Prize, making Sadat the first Muslim Nobel laureate.
Though reaction to the treaty—which resulted in the return of Sinai to Egypt—was generally favorable among Egyptians, it was rejected by the country's Muslim Brotherhood and leftists in particular, who felt Sadat had abandoned efforts to ensure a Palestinian state. With the exception of Sudan, the Arab world and the Palestine Liberation Organization (PLO) strongly opposed Sadat's efforts to make a separate peace with Israel without prior consultations with the Arab states. His refusal to reconcile with them over the Palestinian issue resulted in Egypt being suspended from the Arab League from 1979 to 1989. The peace treaty was also one of the primary factors that led to his assassination.